Rabu, 11 September 2013
by : KUSHANDWIZDOM
kebahagiaan tidak akan pernah datang kepada mereka yang tidak menghargai hari apa sudah
Selasa, 10 September 2013
SEJARAH AL-QUR'AN MATA KULIAH ULUMUL QUR'AN SEM 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia Nya,
sehingga kami dapat menyelasaikan makalah untuk bahan mata kuliah Ulumul Qur’an
Dalam makalah ini kami sebagai penulis sekaligus penyusun menyajikan persoalan
mengenai “Sejarah Al-qur’an”.
Walaupun sudah berusaha
semaksimal mungkin, namun kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifat
nya membangun demi kesempurnaan penulisan untuk masa yang akan datang.
Akhirnya kami berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penulis maupun para pembaca serta
dapat menambah wawasan tentang Sejarah Turunnya Al-qur’an.
Medan , 10 september 2013
Penulis
ii
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................
ii
DAFTAR ISI.................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................
iv
Latar belakang
masalah..................................................................................
1.1
Rumusan
masalah .......................................................................................... 1.2
Tujuan penulisan …………………………………………………………… 1.3
BAB
II PEMBAHASAN…………………………………………………...
Sejarah turunnya
Al-qur’an…………………………………………………. v/viii
Sejarah penulisan
Al-qur’an………………………………………………… ix/vii
Sejarah pemeliharaan
Al-qur’an……………………………………………. 1/4
BAB III
PENUTUP………………………………………………………… i
Kesimpulan…..................................................................................................
3.1
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………. ii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Agama Islam, agama yang kita anut
dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of
life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak.
Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke
jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman,
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).
Al-Qur’an
memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar
prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul
SAW., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Qur’an) untuk
kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar
mereka berpikir (QS 16:44).
Disamping
keterangan yang diberikan oleh Rasulullah SAW., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar
memperhatikan dan mempelajari Al-Qur’an: Tidaklah mereka memperhatikan isi
Al-Qur’an, bahkan ataukah hati mereka
tertutup (QS 47:24).
1.2. Rumusan
Masalah
Untuk
memperjelas latar belakang masalah di atas, penulis membatasi permasalahan
berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apa
Arti Al-Qur’an?
2.
Bagaimana sejarah diturunkannya Al-Qur’an?
3. Apa
tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an?
1.3. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui arti Al-Qur’an.
2. Untuk
mengetahui sejarah diturunkannya Al-Qur’an.
3. Untuk
mengetahui tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an.
iv
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah
Turunnya Al-qur’an
I.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Bagian-bagian Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-’Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr.
Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat.
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Bagian-bagian Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-’Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr.
Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat.
II.
Sejarah
Turunnya Al-Qur’an
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara, antara lain:
1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.
2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi SAW.
3. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.
Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.
4. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara, antara lain:
1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.
2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi SAW.
3. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.
Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.
4. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.
v
Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya.
Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah
disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh
Malaikat Jibril.
Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode:
pertama
Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi
SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat
Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.
Kedua adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.
Ciri-ciri Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah
Makkiyah Madaniyyah
Ayat-ayatnya pendek-pendek, Ayat-ayatnya panjang-panjang,
Ayat Al-Qur’an yang pertama diterima Nabi Muhammad SAW adalah
5 ayat pertama surat Al-’Alaq, ketika ia sedang berkhalwat di Gua Hira, sebuah
gua yang terletak di pegunungan sekitar kota Mekah, pada tanggal 17 Ramadhan (6
Agustus 610). Kala itu usia Nabi SAW 40 tahun.
vi
III.
Kodifikasi
Al-Qur’an
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.
Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surat, Nabi SAW
memberi nama surat tsb untuk membedakannya dari yang lain. Nabi SAW juga
memberi petunjuk tentang penempatan surat di dalam Al-Qur’an. Penyusunan
ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al-Qur’an juga dilakukan
berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan di
masa Nabi SAW tsb berlangsung sampai Al-Qur’an sempurna diturunkan dalam masa
kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an dari kesalahan dan kekeliruan.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an dari kesalahan dan kekeliruan.
IV.
Para
Hafidz dan Juru Tulis Al-Qur’an
Pada masa Rasulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.
Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tsb belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.
Pada masa Rasulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.
Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tsb belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.
vii
questions :
Kenapa Al-Qur’an Tidak Dibukukan Dalam Satu Mushhaf (Pada
Masa Nabi)
Pengumpulan Al-Qur’an yang tidak dilakukan secara sekaligus, melainkan
melalui beberapa masa, dimana kemudian menjadi suatu mushhaf yang utuh.Di sini kami bertanya: “Kenapa Al-Qur’an pada masa Nabi SAW tidak dikumpulkan dan disusun dalam bentuk satu mushhaf?. Jawabnya adalah:
Pertama: Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya sebelum secara keseluruhannya selesai.
Kedua: Sebagian ayat ada yang dimansukh. Bila turun ayat yang menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bisa dibukukan datam satu buku.
Ketiga: Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
Keempat: Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat pendek/dekat. Sebagaimana pembahasan terdahulu bahwa ayat Al-Qur’an yang terakhir adalah:
Firman Allah SWT:
Kemudian Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah
setelah sembilan hari dari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian masanya
sangat relatip singkat, yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau
membukukannya sebelum sempurna turunnya wahyu.
Kelima: Tidak ada motifasi yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushhaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam ada dalam keadaan baik, ahli baca qur’an begitu banyak, fitnah-fitnah dapat diatasi. Berbeda pada masa Abu Bakar dimana gejala-gejala telah ada; banyaknya yang gugur, sehingga khawatir kalau Al-Qur’an akan lenyap.
Kelima: Tidak ada motifasi yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushhaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam ada dalam keadaan baik, ahli baca qur’an begitu banyak, fitnah-fitnah dapat diatasi. Berbeda pada masa Abu Bakar dimana gejala-gejala telah ada; banyaknya yang gugur, sehingga khawatir kalau Al-Qur’an akan lenyap.
Kesimpulan: Kalau Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushhaf, sedangkan situasi sebagaimana yang tersebut di atas, niscaya Al-Qur’an akan mengalami perubahan dan pergantian selaras dengan terjadinya naskh (ralat) atau munculnya sebab disamping perlengkapan menulis tidak mudah didapat.
Daftar
pustaka : http://andiriyanto.wordpress.com/makalah/sejarah-turunnya-al-quran/
viii
Sejarah
Penulisan Al-qur’an
PERKEMBANGAN
BARU PENULISAN MUSHAF PASCA UTSMAN
Pemberian Harakat (Nuqath al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) –yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Pemberian Harakat (Nuqath al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) –yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Pemberian Titik
pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf È(ba),Ê )ta(, )Ëtsa(. Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf È(ba),Ê )ta(, )Ëtsa(. Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
ix
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim[19] dan Yahya bin Ya’mar. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:
a. untuk membedakan antara Ïdal dan Ðdzal, Ñra’ dan Òzay, Õshad dan Ödhad, Øtha’ dan Ùzha’, serta Ú‘ain dan Û ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b. untuk pasangan Ósin dan Ô syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf È ba’, Ê ta, Ë tsa, ä nun, dan íya’.
c. untuk rangkaian huruf Ìjim, Íha’, dan Îkha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d. sedangkan pasangan Ýfa’ dan Þ qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.
x
Antara Rasm
‘Utsmani dan Rasm Imla’i
Sebagaimana yang diketahui, bahwa cara penulisan (rasm) yang terdapat dalam mushaf ‘Utsmany berbeda dan tidak sama dengan cara penulisan yang umum digunakan dalam aturan-aturan imla’ Bahasa Arab. Karena itu para ulama membagi metode penulisan huruf Arab menjadi 2 jenis: rasm ‘Utsmany dan rasm imla’i. Jenis yang pertama khusus digunakan untuk penulisan ayat al-Qur’an sesuai dengan mushaf ‘Utsmany. Sedangkan yang kedua adalah aturan baku yang umum digunakan untuk penulisan kata-kata Arab sebagaimana ia diucapkan.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa cara penulisan (rasm) yang terdapat dalam mushaf ‘Utsmany berbeda dan tidak sama dengan cara penulisan yang umum digunakan dalam aturan-aturan imla’ Bahasa Arab. Karena itu para ulama membagi metode penulisan huruf Arab menjadi 2 jenis: rasm ‘Utsmany dan rasm imla’i. Jenis yang pertama khusus digunakan untuk penulisan ayat al-Qur’an sesuai dengan mushaf ‘Utsmany. Sedangkan yang kedua adalah aturan baku yang umum digunakan untuk penulisan kata-kata Arab sebagaimana ia diucapkan.
Untuk keperluan ini,
para ulama al-Qur’an kemudian menyusun sebuah ilmu yang dikenal dengan nama
ilmu Rasm al-Qur’an. Diantara karya yang mengulas ilmu ini adalah al-Muqni’
karya Abu ‘Amr al-Dany dan al-Tanzil karya Abu Dawud Sulaiman bin Najah.
Berikut ini beberapa sisi penting perbedaan rasm ‘Utsmany dengan rasm imla’i:
1. Penghapusan alif, waw, atau ya’. Seperti yang terdapat pada ayat: (Al-Fatihah:1), (Asy-Syu’ara’:94), dan (Al-Baqarah: 61). Ketiga kata ini jika ditulis berdasarkan rasm imla’i adalah: ÇáÚÇáãíä, ÇáÛÇææä, ÇáäÈííä
2. Penambahan alif, waw, dan ya’. Seperti yang terdapat pada ayat: (Az-Zumar:69), (al-A’raf:145), dan (al-Dzariyat: 47). Ketiga kata ini jika ditulis berdasarkan rasm imla’i adalah: æÌíÁ, ÓÃÑíßã, ÈÃíÏ
3. Pemisahan dan penyambungan. Artinya ada kata seharusnya secara imla’ disambung, namun dipisahkan dalam rasm ‘Utsmany. Begitu pula sebaliknya, ada yang seharusnya dipisah namun disambungkan dalam rasm ‘Utsmany. Seperti yang terdapat dalam ayat: †QWÙWÆ (al-Baqarah: 74) dan ßá ãÇ.(al-Nisa’:91). Kedua kata ini jika ditulis dalam rasm imla’i adalah: Úä ãÇ, ßáãÇ
1. Penghapusan alif, waw, atau ya’. Seperti yang terdapat pada ayat: (Al-Fatihah:1), (Asy-Syu’ara’:94), dan (Al-Baqarah: 61). Ketiga kata ini jika ditulis berdasarkan rasm imla’i adalah: ÇáÚÇáãíä, ÇáÛÇææä, ÇáäÈííä
2. Penambahan alif, waw, dan ya’. Seperti yang terdapat pada ayat: (Az-Zumar:69), (al-A’raf:145), dan (al-Dzariyat: 47). Ketiga kata ini jika ditulis berdasarkan rasm imla’i adalah: æÌíÁ, ÓÃÑíßã, ÈÃíÏ
3. Pemisahan dan penyambungan. Artinya ada kata seharusnya secara imla’ disambung, namun dipisahkan dalam rasm ‘Utsmany. Begitu pula sebaliknya, ada yang seharusnya dipisah namun disambungkan dalam rasm ‘Utsmany. Seperti yang terdapat dalam ayat: †QWÙWÆ (al-Baqarah: 74) dan ßá ãÇ.(al-Nisa’:91). Kedua kata ini jika ditulis dalam rasm imla’i adalah: Úä ãÇ, ßáãÇ
Perbedaan
Qira’at dalam Membaca al-Qur’an
“Apakah ragam qira’at muncul akibat karakteristik rasm ‘utsmany atau ia telah ada jauh sebelum itu?” Ini adalah sebuah pertanyaan lain yang juga mengusik kalangan peneliti al-Qur’an, terutama sebagian kalangan orientalis. Salah satunya adalah Goldziher dalam bukunya Madzahib al-Tafsir al-Islamy. Salah satu teori yang ia kemukakan adalah bahwa perbedaan qira’at itu muncul karena karakteristik rasm ‘Utsmany yang memang ‘bermasalah’ –tanpa titik dan harakat-, sehingga membuka peluang untuk hal itu. Teori ini kemudian dijawab oleh beberapa ahli al-Qur’an muslim, salah satunya adalah Syekh Abd al-Fattah Abd al-Ghany al-Qadhy yang menyusun buku kecil berjudul Al-Qira’at fi Nazhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin. Berikut ini adalah ikhtisar jawaban Syekh Abd al-Fattah terhadap teori Goldziher:
Goldziher –menurut al-Qadhy- nampaknya bermasalah dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya variasi qira’at dalam al-Qur’an. Goldziher –misalnya- menganggap adanya variasi qira’at itu sebagai bukti yang menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya teks wahyu yang dipenuhi dengan ketidakjelasan (idhthirab) dan ketidakkonsistenan (‘adam ats-tsabat).
“Apakah ragam qira’at muncul akibat karakteristik rasm ‘utsmany atau ia telah ada jauh sebelum itu?” Ini adalah sebuah pertanyaan lain yang juga mengusik kalangan peneliti al-Qur’an, terutama sebagian kalangan orientalis. Salah satunya adalah Goldziher dalam bukunya Madzahib al-Tafsir al-Islamy. Salah satu teori yang ia kemukakan adalah bahwa perbedaan qira’at itu muncul karena karakteristik rasm ‘Utsmany yang memang ‘bermasalah’ –tanpa titik dan harakat-, sehingga membuka peluang untuk hal itu. Teori ini kemudian dijawab oleh beberapa ahli al-Qur’an muslim, salah satunya adalah Syekh Abd al-Fattah Abd al-Ghany al-Qadhy yang menyusun buku kecil berjudul Al-Qira’at fi Nazhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin. Berikut ini adalah ikhtisar jawaban Syekh Abd al-Fattah terhadap teori Goldziher:
Goldziher –menurut al-Qadhy- nampaknya bermasalah dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya variasi qira’at dalam al-Qur’an. Goldziher –misalnya- menganggap adanya variasi qira’at itu sebagai bukti yang menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya teks wahyu yang dipenuhi dengan ketidakjelasan (idhthirab) dan ketidakkonsistenan (‘adam ats-tsabat).
xi
Kesimpulan ini tentu saja dibantah
oleh al-Qadhy. Ia menyatakan bahwa ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan itu
bermakna bahwa teks-teks al-Qur’an dengan segala varian qira’atnya saling
bertentangan, tidak dapat dipahami maknanya dengan jelas, dan tidak dapat
dibuktikan mana yang valid (tsabit) dan yang tidak. Padahal perbedaan qira’at
dalam al-Qur’an, bila diteliti dari yang mutawatir, masyhur dan shahihnya,
tidak akan lepas dari 2 kategori berikut:
a. Qira’at itu berbeda lafazh, namun bermakna sama. Seperti:
[ÇáÝÇÊÍÉ:6]
“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.”
Dalam qira’at yang lain, kata yang digarisbawahi dibaca dengan huruf sin, namun dengan makna yang tidak berbeda.
b. Qira’at itu berbeda baik dari segi lafazh dan makna, namun kedua makna itu tidak saling bertentangan. Sebagai contoh adalah:
[ÇáÈÞÑÉ:259]
“Dan lihatlah tulang belulang itu, bagaimana Kami menyatukannya, lalu menutupinya dengan daging.”
Dalam qira’at yang lain, huruf zay pada kata yang digarisbawahi diganti dengan syin (ääÔÑåÇ) dengan harakat yang sama, yang berarti “Kami membangkitkannya (setelah mati)”. Bila diperhatikan, meskipun kedua qira’at ini berbeda, namun sama sekali tidak ada pertentangan. Sebab bila Allah berkehendak untuk membangkitkan makhluq, maka Ia akan menyatukan tulang-belulangnya, lalu menghidupkannya kembali.
a. Qira’at itu berbeda lafazh, namun bermakna sama. Seperti:
[ÇáÝÇÊÍÉ:6]
“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.”
Dalam qira’at yang lain, kata yang digarisbawahi dibaca dengan huruf sin, namun dengan makna yang tidak berbeda.
b. Qira’at itu berbeda baik dari segi lafazh dan makna, namun kedua makna itu tidak saling bertentangan. Sebagai contoh adalah:
[ÇáÈÞÑÉ:259]
“Dan lihatlah tulang belulang itu, bagaimana Kami menyatukannya, lalu menutupinya dengan daging.”
Dalam qira’at yang lain, huruf zay pada kata yang digarisbawahi diganti dengan syin (ääÔÑåÇ) dengan harakat yang sama, yang berarti “Kami membangkitkannya (setelah mati)”. Bila diperhatikan, meskipun kedua qira’at ini berbeda, namun sama sekali tidak ada pertentangan. Sebab bila Allah berkehendak untuk membangkitkan makhluq, maka Ia akan menyatukan tulang-belulangnya, lalu menghidupkannya kembali.
xii
Sejarah
Pemeliharaan Al-qur’an
I.
Pemeliharaan Al-Qur’an di Masa Rasulallah
Rasulallah saw menunjuk beberapa orang
sahabatnya (yang bisa menulis dan membaca) untuk menuliskan wahyu, antara lain,
Khulafaurrasyidin, Mu’awwiyah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Khalid bin
Walid dan lain-lain.
Mereka para penulis wahyu itu bertugas menulis dan
meletakkan urutannya sesuai dengan petunjuk Nabi (Taufiqi) berdasarkan petunjuk
Allah SWT melalui Malaikat Jibril.
Ayat-ayat al-Qur’an tersebut ditulis dihadapan Nabi pada
benda-benda yang bermacam-macam seperti Lakhfah (kepingan batu halus), Ruq’ah
(lembaran-lembaran kulit atau kertas), Kalfun (tulang unta atau domba), Qotbun
(kayu di punggung unta), pelepah kurma dan sebagainya. itu semua disimpan di
rumah Nabi dalam keadaan masih terpencar-pencar ayatnya, belum dihimpun dalam
satu mushhaf/shuhuf, disamping itu para penulis wahyu secara pribadi membuat
pula naskah dari tulisan ayat-ayat al-Qur’an bagi kepentingan pribadi
masing-masing.
Alasan al-Quran tidak dikumpulkan dalam satu mushaf menurut
al-Khattabi : Rasulallah tidak mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf karena
masih datang ayat-ayat yang menasakh (menghapuskan) sebagian hukum-hukum al-Qur’an dan
tilawahnya.
II.
Pemeliharaan
Al-Qur’an Pada Masa Khulafaurrosidin
Dan ketika
selesai penurunan al-Qur’an bersamaan dengan wafatnya Rasulallah saw, kemudian
Allah SWT memberi ilham kepada Khulafaurrosidin untuk mengumpulkannya, sebagai
pelaksanaan janji Allah SWT yang benar dengan menjamin pemeliharaan al-Qur’an
bagi umat ini.
Ketika
Abu Bakar RA menjabat sebagi khalifah, pada masa ini agama Islam menghadapi
tantangan yang cukup berat yaitu memerangi orang-orang murtad (diantaranya
adalah musailamah al kazdzdab yang mengaku sebagai Nabi). Maka dengan adanya
perang itu, banyak kaum muslimin yang menjadi korban/syuhada yang diantaranya
adalah para Qori dan Hafizh (yaitu kira-kira 70 orang).
1
Penulisan dan pengumpulan al-Qur’an
pada masa khalifah Abu Bakar Asshiddiq Radapat dilihat pada kitab al-Itqon fi
ulumil qur’an yang terjemahannya sebagai berikut :
“Al-Bukhori meriwayatkan dalam kitab
shahihnya yang diterima dari Zaid bin Tsabit, katanya : Abu Bakar telah
mengutusku ke medan perang yamamah. Umar bin Khattab pun sedang berada
disampingnya, Abu Bakar lalu berkata : “Sungguh Umar bin Khattab datang
kepadaku dan berkata : “sesungguhnya para penghafal al-Qur’an/hafizh banyak
yang gugur dalam perang ini (yamamah). Aku khawatir akan banyak pula para
penghafal al-Qur’an itu gugur dalam perang selanjutnya, karenanya aku
menyarankan agar al-Qur’an itu cepat-cepat dikumpulkan (dibukukan)”. Maka Abu
Bakar RA menjawab : Bagaimana aku mengerjakan sesuatu yang belum pernah
dikerjakan Rasulallah SAW?... Umar menjawab : Demi Allah, ini adalah perbuatan
yang baik”. Dan ia berulangkali memberi saran sehingga Allah SWT membukakan
dadaku untuk mengumpulkannya, pendapatku akhirnya sama dengan pendapat Umar.
Abu Bakar akhirnya memanggil Zaid bin Tsabit seraya berkata : Engkau adalah
pemuda yang cerdas yang lebih aku percaya dan Engkau adalah sekertaris Nabi
yang selalu menulis wahyu, karena itu periksalah ayat-ayat al-Qur’an kemudian
kumpulkanlah!... Zaid bin Tsabit menjawab : Demi Allah seandainya mereka
menyuruhku untuk memindahkan gunung, maka hal itu tidak seberat pekerjaanku,
Zaid kemudian berkata : mengapa kamu berdua (Abu Bakar dan Umar) melakukan
suatu pekerjaan yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasul?... maka Abu Bakar
menjawab : Demi Allah ini adalah pekerjaan yang baik, kemudian Abu Bakar
memberikan saran tentang kebaikan mengumpulkan al-Qur’an sehingga Allah SWT
membukakan dadaku (Zaid bin Tsabit) untuk menerimanya sebagaimana terjadi pada
Abu Bakar dan Umar RA, kemudian aku memeriksa ayat-ayat al-Quran dan
mengumpulkannya dari daun, pelepah kurma, batu tipis, dada-dada para sahabat
lainnya. dan aku menemukan akhir suroh at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari,
yang tidak aku temukan pada sahabat lain.”
Shuhuf itu kemudian disimpan di rumah
Abu Bakar RA hingga beliau wafat, kemudian disimpan di rumah Umar bin Khattab,
setelah Umar wafat maka shuhuf itu disimpan di rumah Binti Umar (Isteri Nabi
Muhammad SAW) Sedemikianlah pernyataan as-Suyuthi dalam al-Itiqon.
2
III.
Penyempurnaan Penulisan Al-Quran Pada Masa Khalifah
Ketika Usman
bin Affan menjabat sebagai khalifah dan para sahabat berpencar di berbagai
Negara dan masing-masing membawa bacaan (al-Qiroah) yang didengarnya dari Rasulallah
SAW dan diantara mereka ada yang memiliki bacaan yang tidak dimiliki oleh yang
lainnya.
Setiap Qori mengunggulkan bacaan
(Qiroah) nya dan menyalahkan bacaan Qori yang lainnya sehingga perselisihan
terjadi antara ummat.
Kenyataan ini mengejutkan khalifah
Usman RA disaat berita itu sampai kepadanya, beliau pun berkata : Kamu sekalian
berselisih dihadapanku, maka orang-orang yang jauh dariku yang berada
dipeloksok-peloksok akan lebih berselisih lagi.
Kenyataan Usman tersebut menjadi
kenyataan ketika Khuzaifah ibn al-Yaman datang mengabarinya tentang
perselisihan bacaan diantara penduduk Syam dan ‘Iraq dalam perang Armenia.
Dari sebab itulah Usman bermusyawarah
dengan para sahabat yang kesepakatannya adalah untuk menyatukan bacaan manusia
dalam satu mushaf agar tidak terjadi perselisihan. Kemudian Usman menulis surat
kepada hafshah agar mengirimkan lembaran al-Qur’an yang telah ditulis pada masa
Abu Bakar RA.
Selanjutnya Usman menegaskan kepada
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair , Sa’id ibn al-‘Ash, Abdurrahman ibnu
al-Harits, dan Ibnu Hisyam untuk menulis atau menyalin kembali lembaran
tersebut ke dalam mushaf.
Usman berkata kepada kaum Quraisy :
“Jika kamu sekalian berbeda pendapat (mengenai bacaan) dengan Zaid, tulislah
bacaan itu sesuai dengan bacaan Quraisy, karena sesungguhnya al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa mereka.”
3
Kemudian mereka pun menjalankan
perintah itu dengan sebaik mungkin, yaitu menulis mushaf itu sesuai tertib
surat-surat sebagaimana yang kita kenal sekarang. Setelah penulisan itu
selesai, maka Usman mengirimnya ke setiap penjuru Negeri terkenal dan Ia juga
menyuruh untuk membakar semua mushaf selain yang sastu ini, supaya kaum
muslimin bersatu dalam bacaan dan melupakan perselisihan yang terjadi waktu itu.
Dengan demikian Allah SWT telah memberi
petunjuk kepada Usman dan para sahabat untuk melakukan pekerjaan yang mulia
ini, kemudian Usman mengembalikan Mushaf itu kepada Hafshah hingga akhir
hayatnya (Hafshah). (yaitu pada tahun ke-41 H, menurut keterangan lain sampai
45 H).
4
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
i
DAFTAR
PUSTAKA
ii
Langganan:
Komentar (Atom)